Sudomo berpose di rumahnya di kawasan Pondok Indah, Jakarta, 20 November 2002. dok. TEMPO/ Rendra
Dia menyandarkan tubuh ke kursi. Kepala dengan rambut putihnya menengadah. Terasa berat bagi Laksamana TNI (Purnawirawan) Sudomo menceritakan kehidupan agama dan pernikahannya. Namun, dengan besar hati, Sudomo mengakui di dua kehidupan itu ia gagal.
Inilah tulisan ketiga rubrik Memoar
majalah Tempo yang terbit pada 27 Juni 2011.
***
Saya mengikuti falsafah hidup berkeluarga secara klasik. Bagi saya, di keluarga mana pun, suami adalah kepala keluarga dan istri adalah kepala rumah tangga. Dalam hal ini, saya beranggapan seharusnya seorang istri berkedudukan di bawah suami.
Kenyataannya, dengan prinsip ini, saya malah bercerai dan kawin lagi sampai tiga kali. Istri menuntut sebagai mitra strategis, dalam arti posisi suami-istri dalam rumah tangga sejajar. Suami sebagai pilot dan istri sebagai kopilot.
Saya mengenal istri pertama saya, Fransisca Piay, saat masih tinggal di Jalan Borobudur, Menteng, Jakarta Pusat. Sisca, begitu panggilannya, adalah teman sepergaulan saya dengan beberapa anak Menteng lainnya. Dulu saya sering main di sekitar Gereja Paulus, yang berada di sebelah gedung Bappenas. Gereja itulah yang kemudian menjadi gereja saya dulu.
Awal 1961 kami berkenalan, dan tiga bulan kemudian menikah. Sewaktu menikah pertama kali, saya murtad dengan pindah ke agama istri, yaitu Protestan. Saya tidak berpikir panjang karena berpendirian, apabila agama suami dan istri sama, tidak akan terjadi masalah dalam rumah tangga. Saya tidak pernah memaksa istri memeluk agama selain yang dipercayainya. Begitu pula dengan anak-anak. Saya membebaskan mereka dan saat ini mereka mengikuti agama ibunya.
Keputusan saya pindah agama ke Protestan bukan karena penilaian saya yang jelek terhadap Islam, melainkan murni untuk memudahkan proses pernikahan saya. Meskipun pernikahan campuran pada zaman dulu dimungkinkan, setelah itu akan menjadi sulit. Sebab, pada 1974, terbit Undang-Undang Perkawinan, di mana mempelai Islam harus mengucapkan syahadat terlebih dulu.
Saya akui mungkin itu adalah alasan yang salah. Setelah pindah agama, saya mencoba mempelajari agama Protestan. Tapi, pada akhirnya, saya malah berdoa sendiri, jarang ke gereja, dan tetap membaca Al-Fatihah sendiri. Seluruh pelajaran tentang agama Protestan sulit sekali masuk pemikiran saya. Mau pindah lagi ke agama Islam saat itu sulit dilakukan. Mengingat pekerjaan dan posisi saya sebagai pejabat, berpindah-pindah agama akan menjadi contoh dan preseden yang buruk bagi masyarakat.
Akhirnya saya menunggu sampai saya pensiun, dengan jabatan terakhir Ketua Dewan Pertimbangan Agung, pada 1998. Setelah itu, saya baru bisa kembali ke agama Islam dan mulai berfokus pada agama ini. Saat menjadi pejabat dulu, saya tidak berfokus menjalankan ibadah karena sibuk dengan pekerjaan. Saya kembali mengucap kalimat syahadat di Masjid Al-Huda, Malang, Jawa Timur, disaksikan mantan Gubernur Jawa Timur Basofi Sudirman.
Tidak ada momen spesial yang membuat saya kembali memeluk Islam. Saya rasa hanya kekuatan doa ayah saya, Haji Kastawi alias Haji Martomihardjo, yang membuat saya kembali ke agama ini. Kebetulan kedua orang tua saya adalah Masyumi. Mereka menjalankan agama dengan sangat taat. Mereka sering berdoa dan memberi tahu saya agar kembali ke Islam.
Dengan Sisca Piay, kehidupan perkawinan saya bertahan 19 tahun. Pada 1980, bahtera rumah tangga kami kandas. Kami bercerai. Dari pernikahan ini, saya dikaruniai empat anak. Biakto Trikora Putra, yang lahir pada 15 Agustus 1962, tepat saat ditandatanganinya kesepakatan Indonesia-Belanda soal penyerahan Irian Barat, Dewi Prihatina Dwikora Putri, Martini Yuanita Ampera Putri, dan Meidyawati Banjarina Pelita Putri.
Nama keempat anak saya memang selalu berkaitan dengan kabinet, tugas, serta jabatan saya sebagai tentara. Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang mau berkiprah di bidang militer. Anak laki-laki pertama saya, Biakto, tidak mau jadi tentara mungkin karena sering melihat ayahnya jarang pulang. Dia memilih menyelesaikan studi di University of Southern California dan meraih gelar BA.
Setelah bercerai dengan Sisca Piay, saya membujang 10 tahun, hingga pada pengujung 1990 saya bertemu dan menikahi peragawati cantik, Fransiska Diah Widhowaty. Namun pernikahan saya yang kedua bernasib sama, kandas di tengah jalan. Pada 1994, saya kembali mengalami perceraian. Dari pernikahan dengan Siska Widhowaty, saya tidak memiliki anak.
Untuk kedua kalinya saya hidup membujang. Orang pun sering berkelakar saya masuk PDI. Ini bukan Partai Demokrasi Indonesia atau Partai Domo Indonesia, melainkan Persatuan Duda Indonesia. Empat tahun kemudian, saya menikah untuk ketiga kalinya, dengan Aty Kesumawaty.
Pernikahan ini hanya bertahan empat tahun. Pada 1998 menikah, 2002 bercerai. Dari dua kehidupan pernikahan sebelumnya, tidak ada yang seseru pernikahan ketiga ini. Pada perceraian ketiga, saya kalah di Pengadilan Agama tingkat pertama. Dalam hal pembagian harta gono-gini, hampir saja rumah ini (rumah di Pondok Indah) lepas dari tangan saya.
Harta gono-gini itu kan harta yang diperoleh semasa masih menjalani kehidupan sebagai suami-istri. Padahal, faktanya, saya memiliki rumah ini terlebih dulu, sebelum menikah pada 1998. Lucunya, saya baru tahu hakim yang menangani perkara perceraian dan pembagian harta rupanya disogok.
Saat itu saya tanya, bagaimana prosesnya supaya menang, dijawab, "Sudah, sogok saja, Pak." Lo, bagaimana? Saya ini kan mantan Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Kok nyogok? Padahal dulu tugas saya menangkapi orang. Ya, sudah, saya tidak bisa berkutik, karena sudah diputuskan.
Akhirnya rumah ini kembali kepada saya. Tidak ada jalan lain dalam perkara ini. Saya amankan (sogok) ketika proses banding hingga kasasi. Saya harus mengeluarkan setengah miliar rupiah untuk penyelesaian perkara selama 3 tahun 2 bulan itu. Maaf saja kalau saya bilang mafia hakim itu pada dasarnya ada, dan saya mengalami sendiri.
Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam berkeluarga, saya memang bukan contoh yang baik. Bagi saya, perempuan adalah kekuatan sekaligus kelemahan saya.
Setelah kembali memeluk Islam, saya ingin berfokus mempelajari Islam lagi dari awal. Karena itu, saya menemui seorang kiai, Pak Mardi Lambe namanya, di Masjid Al-Ikhsan, Jalan Kerinci, Kebayoran, Jakarta Selatan, untuk belajar mengaji. Tapi sekarang Pak Mardi Lambe sudah meninggal. Meski begitu, setiap Jumat saya masih sering ke sana untuk belajar mengaji.
Setiap subuh, saya usahakan salat subuh berjemaah. Saya juga mendirikan organisasi kemasyarakatan bernama Wasilah Subuh (Wadah Silaturahmi Subuh). Kegiatannya adalah salat subuh dan salat Jumat berjemaah. Kemudian dilanjutkan dengan zikir, ceramah, dan minum kopi sambil bertukar informasi. Setiap Ahad, saya juga usahakan salat berjemaah di salah satu masjid atau musala yang ada di Jakarta Timur.
Ada sekitar 200 masjid dan musala di Jakarta Timur yang sudah saya kelilingi setiap Ahad pagi. Kebiasaan itu saya teruskan sampai sekarang. Jadi setiap Ahad subuh saya pasti ada di salah satu masjid atau musala itu. Kadang saya sampai ke Jawa Tengah dan Sumatera untuk menghadiri Wasilah Subuh.
Setelah memeluk agama Islam, saya naik haji dua kali, yaitu pada 1998 dan 2002. Saya juga menjalankan ibadah umrah sampai lima kali. Mungkin hal itulah yang membuat orang-orang menambahkan singkatan HM di depan nama saya. Padahal nama saya hanya Sudomo. Meskipun pernah memeluk agama lain, saya percaya orang yang mengucapkan kalimat syahadat dan menjalankan ibadah dengan sepenuh hati akan suci lagi seperti bayi.
(
tempo.co)