Layanan Tiket Pesawat Murah, Booking dan Cetak Sendiri Tiketnya

CARA MUDAH BERBISNIS TIKET PESAWAT

Apakah anda sudah siap untuk Bergabung??

Bergabung? silahkan klik disini

Selasa, 10 Januari 2012

Di Asean, Kita Menentukan Tren


Menlu Marty Natalegawa

Eropa dan Amerika terpuruk. Indonesia mulai dilirik.

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa (VIVAnews/Ikhwan Yanuar)

Konstelasi geopolitik dunia kini mulai berubah arah. Eropa dan Amerika Serikat yang sejak lama menjadi kiblat ekonomi dunia, mulai memudar reputasinya. Negara-negara besar kini mulai mengincar pengaruh di Asia, wilayah yang sedang bertumbuh ranum.

Asia Tenggara diharapkan tak kehilangan momen. Beralihnya perhatian dunia ke Asia harus disikapi secara cerdas, dan menguntungkan di masa depan. Namun, harus diantisipasi adanya persaingan negara-negara tersebut. Jika tidak, bukan tak mungkin kita terjebak dalam perangkap perang dingin.

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menyampaikan hal itu saat berkunjung ke redaksi VIVAnews, Jumat 6 Januari 2012. Ditemani oleh empat Direktur Jenderal dari Kemenlu, Natalegawa mengatakan perlu adanya kendali persepsi agar suasana geopolitik itu tak keruh. Transparansi mutlak diperlukan bagi negara Barat yang 'ekspansi' ke Asia.

Saat menjadi Ketua ASEAN 2011, kata Menteri Marty, Indonesia sudah berupaya memainkan peran, yang disebutnya sebagai "dynamic equlibrium". Berikut kutipan wawancara santai selama hampir dua jam itu:

Perubahan geopolitik santer terjadi di berbagai belahan dunia. Negara-negara besar kini diterpa badai krisis ekonomi, yang akhirnya menjalar ke sektor lainnya. Bagaimana Indonesia di Asia menghadapi fenomena ini?
Di zaman sekarang ini, antara ekonomi dan politik berkaitan erat. Meskipun dikatakan krisis ekonomi dengan berbagai gejalanya, tapi pada kenyataannya membawa dampak bukan hanya di bidang ini saja.

Di lain pihak, ada konsekuensi geopolitik. Ini bukan hanya tantangan, tapi juga bisa menjadi peluang. Perubahan geopolitik semakin mempercepat tren yang sudah ada, yaitu semakin pentingnya kawasan Asia Pasifik bagi dunia.

Sekarang tinggal bagaimana kita di Asia Pasifik bisa cerdas memahami bahwa ada satu titik krusial, yang jika bisa dimainkan dengan cantik dan pandai maka akan menjadi batu loncatan untuk lebih maju lagi.

Oleh karena itu, jika kita bicara masalah keamanan regional, penolakan Indonesia terhadap pendekatan-pendekatan perang dingin jelas. Kita tak ingin kawasan kita diceraiberaikan oleh persaingan. Kita tidak ingin modal kita untuk maju di kawasan Asia Pasifik, yaitu perdamaian dan stabilitas, menjadi rusak. Jika dua modal ini dapat dijaga, maka kita bisa konsentrasi pada masalah ekonomi.

Di saat yang menentukan seperti ini, jangan sampai kita masuk perangkap cara pandang yang negatif. Hal ini akan membalikkan posisi kita yang saat ini berada di ambang masa panen. Karena itulah, kita harus betul-betul memahami betapa berharganya stabilitas itu.

Terkadang kita di Kementerian Luar Negeri dituduh tidak riil ketika melakukan kerja sama. Kita sering ditanya, apakah ada manfaat ekonominya? Padahal perdamaian itu banyak manfaatnya.  Coba kita lihat di Timur Tengah, saya tidak ingin menyebut negaranya, ada ledakan bom yang menewaskan puluhan orang. Jika masalah keamanan dasar ini tidak bisa diselesaikan, bagaimana bisa maju? Ini adalah momen penting, kita jangan lengah untuk mengambil manfaatnya.

Terkait perubahan geopolitik. Amerika Serikat yang melakukan penghematan anggaran militer, mulai mengalihkan fokus mereka ke Asia, tentunya untuk menandingi pengaruh China. Apakah ini suatu ancaman?
Kita ingin menghindari hal tersebut (ancaman) menjadi satu kenyataan. Saya menggunakan istilah menghindari, karena kami berpandangan hal ini bisa jadi kenyataan jika kita terus menerus beranalisa dan berperilaku seperti itu.

Memang keadaan ini bisa saja terjadi, tapi kami di pemerintah mencoba untuk mencegahnya dan membuat pola yang lain. Ketika Indonesia menjadi ketua ASEAN tahun lalu, melalui Bali Principle pada pertemuan KTT Asia Timur (East Asia Summit), kita menerapkan prinsip-prinsip dasar hubungan antar bangsa di kawasan.

Seperti Treaty of Amity (Perjanjian Persahabatan) yang dulunya berlaku untuk Asia Tenggara, sekarang kita ekspor ke negara-negara Asia Timur secara keseluruhan. Apa intinya? Intinya penolakan penggunaan kekerasan dalam berbagai masalah, peaceful settlement of dispute.

Ini mungkin dianggap terlalu idealis. Tapi ingat, pada tahun '76 ketika RI memprakarsai hal serupa untuk kawasan Asia Tenggara, hanya 10 tahun setelah Bangkok Treaty membentuk ASEAN, pun saya yakin saat itu banyak yang meragukan. Terlebih karena banyaknya konflik, seperti perang Vietnam, ketegangan Indo-China, dan lain sebagainya.

Tapi pada akhirnya, itu menjadi bagian dari norma dan cara pandang di ASEAN. Sehingga meskipun terjadi, seperti insiden Thailand-Kamboja, setidaknya kita semua menganggap ini adalah exception to the rule, tidak boleh.

Inilah benih yang ingin kita tanam di Asia Timur, bahwa konflik, kompetisi, zero sum relation, bukanlah suatu keniscayaan. Sangatlah kurang cerdas kalau kita mengarah ke sana, karena kita akan dirugikan.

Seperti Pasifik yang artinya damai, aset Asia Pasifik adalah perdamaian. Untuk itulah Indonesia ketika menjadi ketua ASEAN mengembangkan konsep dynamic equilibrium untuk menghadapi konsep balance of power. Zaman dulu kalau kita bicara balance of power, jika ada suatu negara yang mendominasi, maka negara-negara yang lain berkolaborasi untuk menghadapinya.

Kita tidak ingin melihat kawasan Asia Tenggara didominasi oleh suatu negara. Itu tidak sehat. Tapi cara menghindari itu bukan dengan menghimpun koalisi aliansi yang ditolak prinsip bebas aktif kita, tapi justu menanamkan konsep dynamic equilibrium itu tadi.

Dynamic, adalah pengakuan bahwa kawasan ini terus berubah. Mustahil membuat satu potret, misalnya, Januari 2012 disebut sebagai state of balance dan dilarang ada lagi perubahan. Tidak mungkin kita membekukan situasi. Perubahan adalah suatu keniscayaan. Tetapi perubahan yang dinamis, harus ada ekuilibrium. Bukan keseimbangan, tapi suatu hubungan yang dapat terduga, tidak ada surprise, tidak ada pergesekan.

AS menambah jumlah pasukannya di Darwin, Australia, apakah akan mengganggu dynamic equilibrium?
Apapun perkembangan di kawasan, jangan sampai ada miskalkulasi, misinterpretasi. Kita sudah mendapat penjelasan dari pihak terkait, bahwa penambahan pasukan fungsinya adalah untuk disaster emergency response. Kalau memang untuk tanggap bencana, RI menawarkan adanya latihan bersama dalam masalah ini.

Apa memang benar untuk tanggap bencana?
Inilah yang bisa kita kelola dengan confidence building dan komunikasi. Menurut hemat kami, di kawasan kita, ancaman utama bukanlah niat agresif, tapi miskalkulasi, misunderstanding, dan saling melontarkan asumsi negatif terhadap negara lain. Akhirnya terjadilah yang dikhawatirkan. Maka dari itu, hal ini kita hindari dengan keterbukaan.

Jika memang ada pelatihan tentara AS di Australia, harus ada keterbukaan dan  itu memang sudah dilakukan. Indonesia saat ini sedang menyusun ASEAN Security Outlook yang mewajibkan negara-negara anggota untuk menjabarkan rencana pertahanan mereka, agar tidak ada salah tafsir dan pemahaman.

Dibanding negara-negara anggota ASEAN lainnya, seperti apa posisi Indonesia?
Indonesia di Asia Tenggara dianggap sebagai negara yang memayungi. Indonesia walaupun negara besar, namun oleh negara-negara ASEAN dianggap dapat memberikan comfort level yang bisa memayungi dan mempertemukan mereka jika ada konflik.

Ini jarang terjadi. Biasanya suatu negara besar di sub-kawasan adalah negara yang selalu dicurigai, suka memaksakan kehendak dan lain-lain. Namun kita sekarang bisa meraih kepercayaan dan kepemimpinan sekaligus, tanpa memaksakan kehendak.

Bayangkan, walaupun kita sudah tidak jadi ketua ASEAN, namun pihak Thailand dan Kamboja tetap ingin Indonesia terus menengahi konflik di antara mereka. Kedua negara tersebut telah nyaman dengan kita. Demikian juga Myanmar.

Selama setahun terakhir ini, Myanmar berkembang pesat jika dibandingkan 10-20 tahun terakhir. Berapa banyak utusan dari sana-sini datang lalu-lalang ke Myanmar untuk mencoba mendorong perubahan, tapi tidak mempan.

Selama setahun menjadi ketua ASEAN, masalah Myanmar sudah saya targetkan untuk menjadi salah satu portfolio utama kita. Saya ingin agar masalah Myanmar tidak lagi menjadi beban bagi ASEAN. Ketika Januari tahun lalu Myanmar menyatakan ingin menjadi ketua ASEAN 2014, semua sudah setuju kecuali Indonesia. Kita menahan diri, kita akan gunakan itu sebagai tiket untuk mendorong perubahan di Myanmar, tentunya dengan pengelolaan yang tepat.

Saya berkunjung ke Myanmar dan bertemu Aung San Suu Kyi. Kapan pernah ada ketua ASEAN datang ke Myanmar, ini sangat tidak lazim. Tapi selama 11 bulan terakhir, kita kelola agar ini menjadi bagian yang lazim. Coba lihat, setelah kita, siapa lagi yang mengantre ke Myanmar, bertemu Aung San Suu Kyi. We set the trend. Kita menentukan tren.

Banyak negara yang menyarankan untuk tidak memberikan kepemimpinan kepada Myanmar. Tapi kita punya prinsip. Keputusan harus diambil oleh ASEAN, bukan negara A, B atau C. Tapi untuk itu kita harus kredibel, tidak hanya mengiyakan. Saya sampaikan kepada pemerintah Myanmar, bahwa menjadi ketua ASEAN memiliki beban khusus, lebih dari negara ASEAN lainnya. Terutama kepedulian soal demokrasi. Nah, hal ini akan menjadi motivator bagi mereka untuk betul-betul memahami harapan kita.

Apa yang anda sampaikan saat bertemu Aung San Suu kyi?
Dalam pertemuan dengan Aung San Suu Kyi, saya meminta beliau untuk mempercayai kita. Saya bilang bahwa akan ada keputusan.

Saya minta beliau untuk meyakini bahwa keputusan ini diambil dengan kehati-hatian dan akan menjadi sebuah motivasi ke depannya. Dengan langkah Indonesia ini, semua pihak di Myanmar, pemerintah dan oposisi on board. Akhirnya terciptalah win-win solution.

Ini yang kita lakukan, mencoba menjadi bagian dari solusi, bukan mempertajam masalah. Kalau mempertajam gampang, saya bicara kencang sedikit saja, maka semua bisa buyar.

Sekarang ini, menurut kami, dunia memberikan peranan kepada negara yang bisa connect, bukan negara yang berdiri sendiri, teriak-teriak sendiri, memang memberi kepuasan politik mungkin, tapi emotion is not politic, condemnation bukan kebijakan. Kita harus rasional, kalau kita bisa menjembatani, maka kita harus berperan.

Seberapa signifikan posisi kita di G20?
Bayangkan perbedaan 10 tahun lalu dengan sekarang. Ketika terjadi krisis politik dan keuangan di Indonesia, itu adalah titik terendah yang kita alami. Tapi lihat dalam kurun waktu satu dekade, betapa posisi kita di luar negeri sudah berubah.

Dalam pertemuan di Canes, Perancis, kita datang sebagai suatu perekonomian yang firing on all cylinders. Dibandingkan Eropa, ekonomi Indonesia sangat positif. Ketika pembahasan di Canes, semua kepala negara merujuk kepada masalah Uni Eropa. Presiden SBY dalam pembahasan memang sedikit membahas Eropa, tapi kemudian membahas pembangunan, sustainable development, masalah kepentingan negara-negara berkembang, pengentasan kemiskinan.

Dalam pertemuan tersebut, terlihat sekali kemandirian kita di forum G20. Sementara yang lain group-think, hanya manut suara terbanyak, Presiden SBY malah membawa isu baru yang belum disuarakan negara berkembang.

Pendek kata, kita berada di posisi yang khas. Di satu pihak sebagai negara yang semakin mapan ekonominya, namun di sisi lain tidak melupakan where we came from.

Rakyat Indonesia terlihat antusias jika ada berita soal negara tetangga kita, Malaysia. Antusiasme ini dituangkan dalam komentar yang negatif dan kecaman. Mengapa terjadi seperti ini?
Jika kita lihat fakta hubungan antara Indonesia dengan Malaysia, sebenarnya sangat dekat. Dalam bidang perdagangan, investasi, wisata, persaudaraan, persamaan budaya, tenaga kerja, dan banyak sekali keterkaitan yang seharusnya menjadi semacam pengingat.

Di satu sisi seperti itu, di sisi lain, hubungan ini mudah sekali tersulut polemik. Sementara G to G (Government to government) kita sudah nyambung, people to people relation masih perlu dikembangkan. Untuk itulah kita buat kelompok tokoh masyarakat yang telah ditugaskan menjadi eminent person untuk mendekatkan kedua negara. Ini adalah prosesnya.

Saya tidak tahu yang menyampaikan komentar negatif itu memang kritis atau tidak. Tapi apakah mereka itu majority view atau yang paling vokal memang seperti itu? Ataukah ada silent majority yang sebenarnya melihat kenyataan sebenarnya.

Banyak sekali komunikasi dengan warga Indonesia di Malaysia yang meminta pemerintah kedua negara untuk tetap bersahabat. Kami sebagai yang mengelola hubungan dengan Malaysia berkepentingan untuk memastikan jangan sampai ada letupan.

Masalah perlindungan WNI di luar negeri menjadi sorotan media pada 2011. Sebenarnya seperti apa mekanisme perlindungan WNI di Kementerian Luar Negeri?
Mengingat dunia yang sudah semakin globalized, dengan kemudahan dalam bepergian dan komunikasi, menjadikan WNI semakin mobile. Ini sudah menjadi sebuah tren, apakah para WNI sebagai TKI, mahasiswa, tenaga kerja atau wisatawan. Jadi sudah hampir sebuah keniscayaan, tuntutan bagi kemlu untuk perlindungan warga di luar negeri terus meningkat.

Sebenarnya bukan hanya Indonesia saja yang menghadapi hal ini. Beberapa kali saya ngobrol dengan menteri luar negeri negara lain, masalah perlindungan warga juga menjadi perhatian utama kementerian mereka.

Sepanjang 2011, skenario yang melibatkan perlindungan warga sangat beragam. Dari tenaga kerja yang dihukum mati tanpa pemberitahuan oleh Saudi, yang menimbulkan gejolak dan emosi --ini yang paling ekstrem-- hingga penganiayaan dan berbagai tindakan yang tidak baik.

Ada juga perlindungan warga yang berkaitan dengan gejala politik. Contohnya di Mesir, Tunisia, Yaman, Libya, Somalia, Bahrain. Skenario yang unik adalah ketika warga kita di kapal MV Sinar Kudus disandera oleh perompak Somalia. Belum lagi bencana alam, di Jepang, Haiti, Chile. Ini semua sangat beragam.

Ada protapnya di Kemlu. Jika ada sesuatu yang terjadi, kita cepat menghimpun semua yang terlibat untuk bisa identifikasi masalahnya. Langkah yang diambil pertama adalah pencegahan, perlindungan dan pemberitahuan. Meskipun situasinya berbeda, tapi pendekatannya selalu sama.

Bagaimana dengan peningkatan advokasi bagi WNI terhukum mati?
Masalah ini sudah ada paparan dari Satgas perlindungan TKI yang dipimpin oleh Bapak Maftuh Basyuni. Sekarang masalah-masalah ini penanganannya sudah jauh lebih baik, pendampingan hukum juga sudah tertata. 

Masalah ini bukannya tanpa tantangan. Namun kita pastikan saudara-saudara kita ini memperoleh proses hukum yang transparan dan adil. Dibandingkan tahun 2010, sudah ada pemahaman yang lebih utuh soal perlindungan TKI ini. Kita tidak bisa semata terpaku dengan penanganan di luar negeri, tapi dalam rangka pencegahan diperlukan pengelolaan yang lebih baik di tanah air. (eh)

Sumber :  VIVAnews 

SUPPORT BY







Tidak ada komentar: